Rabu, 04 November 2009

Abimanyu dan wahyu cakraningrat, wahyu pewaris tahta

Sebuah Adaptasi Budaya

Para Leluhur Nusantara, sangat piawai mengadaptasi cerita ‘dari luar’ menjadi cerita khas Nusantara. Para Leluhur paham betul mengenai budaya masyarakat di Nusantara, dan juga hal-hal yang dapat menjadi pemicu peningkatan kesadaran masyarakat Nusantara. Dalam budaya Nusantara ada istilah ‘pakem’, pokok, hakikat yang tidak diubah, dan ada istilah ‘kembangan’, imaginasi, penyesuaian dengan kondisi masyarakat setempat. Imaginasi dapat berkembang sesuai perkembangan zaman. Mereka yang terbelenggu oleh pemahaman baku yang tak dapat diubah akan mengalami ‘stress’, karena dunia selalu berkembang, berubah. Memang, inti hakikat tidak berubah, tetapi penampilan dan ‘setting’nya disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Akan selalu terjadi pertentangan antara pengikut ajaran murni dan pengikut ajaran adaptasi. Mereka yang berkutat dalam tataran syariat akan menuduh, bahwa ‘kembangan’ itu mengada-ada, bid’ah. Sedangkan mereka yang memahami hakikat, paham setiap individu mempunyai pandangan yang berbeda, karena sifat bawaan genetik dan lingkungan yang mempengaruhinya berbeda. Akan tetapi pada hakikatnya semua individu dapat meningkatkan kesadarannya melalui pemahamannya. Biarlah yang berselera terhadap yang dianggapnya murni menjalankannya, dan biarlah yang cocok dengan ‘kembangan’ yang dapat lebih meresap kedalam dirinya melakukannya. Baginya pemahamannya, bagiku pemahamanku.

Misalnya dalam kisah yang beredar di India bahwa Drupath adalah istri dari kelima Pandawa, akan tetapi di Nusantara diubah menjadi Dewi Drupadi, istri dari Yudistira saudara sulung Pandawa. Masyarakat Nusantara belum mengenal poliandri, belum mengenal ‘mandala persatuan’ fisik Pandawa. ‘Human Mandala’ dengan Kendra-nya, pusatnya Sri Krishna dapat diterima oleh masyarakat Nusantara, tetapi poliandri masih sulit sekali dimengerti karena tidak sesuai dengan budayanya. Masyarakat lebih menerima Dewi Kunti menjadi pemersatu bagi putra-putranya.

Contoh selanjutnya adalah Duryudana yang disebut dalam kisah Mahabharata di India, akan tetapi masyarakat Nusantara juga tahu bahwa Duryudana, Pemimpin Korawa juga mempunyai kebaikan dalam hidupnya, maka di Nusantara namanya dikenal sebagai Prabu Suyudana. ‘Dur’ artinya jahat, ‘su’ artinya baik. Demikian pula kisah Abimanyu, begitu masuk Nusantara dikembangkan bahwa dia adalah ‘momongan’, asuhan Semar. Semar adalah khas Nusantara, jiwa sejati masyarakat Nusantara. Adaptasi tentang masuknya tokoh Semar menyentuh nurani masyarakat Nusantara.

Kelahiran Abimanyu

Abimanyu (Sanskerta: abhiman’yu) adalah seorang tokoh dalam perang Bharatayuda. Ia adalah putera Arjuna dengan Wara Subadra, adiknya Prabu Kresna. Konon Wara Subadra adalah titisan Dewi Widowati yang pernah menitis sebagai Dewi Citrawati, isteri Prabu Arjuna Sasrabahu yang titisan Wisnu, kemudian menitis menjadi Dewi Sinta, istri Sri Rama yang juga titisan Wisnu, dan dalam zaman dwapara yuga menitis ke Wara Subadra, adiknya Prabu Kresna, yang juga titisan Wisnu. Abimanyu dan keturunannyalah yang akan menjadi pewaris tahta Yudistira. Abimanyu berasal dari dua kata Sanskerta, yaitu abhi, berani dan man’yu, karakter. Abimanyu berarti “Ia yang memiliki karakter tak kenal takut” atau “Sang Pemberani”.

Konon ketika Abimanyu masih dalam kandungan ibunya, dia dapat mendengar pembicaraan ibunya dengan kakaknya, Prabu Kresna. Prabu Kresna sedang ‘mbabar’, menguraikan formasi pasukan chakrawyuha kepada ibunya, Wara Subadra. Sayang belum sampai selesai sang ibu ketiduran, sehingga Abimanyu lahir dan menguasai formasi tempur chakrawyuha, akan tetapi karena ibunya ketiduran maka, dia belum mengetahui cara melepaskan diri dari jerat chakrawyuha.

Para leluhur yakin bahwa bayi yang sedang dikandung dapat mengerti keadaan di luar melalui rasa sang ibu yang sedang mengandungnya. Seorang anak yang ibunya sedang melakukan pendadaran, ujian akhir dan selalu khusyuk belajar akan melahirkan putra yang cerdas. Pada waktu hamil seorang ibu juga dilarang membunuh hewan, demikian pula sang suami, hal tersebut dapat mempengaruhi kejiwaan sang anak. Seorang ibu yang cemas pada waktu hamil, menyebabkan kecemasan tersebut tersimpan dalam bawah sadar sang bayi yang dikandungnya. Latihan katarsis amat berguna dalam menghilangkan kecemasan termasuk kecemasan yang terjadi pada saat berada dalam kandungan. Makanan, minuman, suara, bunyi-bunyian dan tontonan yang didengar dan dilihat ibunya mempengaruhi sang bayi yang dikandungnya. Guru pertama seorang anak adalah ibunya. Seandainya ibu-ibu Nusantara berperilaku terpuji, maka majulah Nusantara. Surga sang anak berada di bawah telapak kaki ibu.

Alkisah, pada saatnya, putera Abimanyu dari Dewi Utari, ketika berada dalam kandungan juga tahu bahwa panah Aswatama hampir mengenai kandungan ibunya, dan melihat Prabu Kresna menyelamatkannya, sehingga ketika lahir sang bayi selalu memeriksa orang di sekitarnya, apakah orang tersebut adalah yang telah menyelamatkannya ketika masih berada dalam kandungan. Sehingga dia dinamakan Parikesit, yang selalu ‘parikhsa’, mencari Prabu Kresna.

Abimanyu menghabiskan masa kecilnya di Dwarawati, kota tempat tinggal ibunya. Ia dilatih oleh ayahnya Arjuna dibimbing pakdhenya, Prabu Kresna, dan ‘dimomong’, diasuh sejak kecil oleh Semar dan putra-putranya. Disebutkan bahwa Abimanyu adalah inkarnasi dari putera Soma, Dewa Bulan. Sang Dewa Bulan membuat perjanjian bahwa puteranya tinggal di bumi hanya selama 16 tahun. Abimanyu berusia 16 tahun saat ia terbunuh dalam pertempuran Bharatayuda.

Wahyu cakraningrat

Kepercayaan sebagian nenek moyang

Sebagian masyarakat yakin bahwa wahyu adalah wujud kelimpahan rahmat dan pencerahan Tuhan kepada seseorang. Sehingga orang yang ‘kewahyon’, mendapat wahyu dikatakan hidupnya sejahtera secara lahir dan batin. Wahyu dimaknai sebagai tanda perubahan seseorang yang mengarah kepada kebaikan, kesuksesan, dan kemasyhuran yang berguna bagi masyarakat.

Perubahan tersebut merupakan hasil dari sebuah ‘laku’, olah batin. Pada umumnya laku batin adalah bertapa, berpuasa, berpantang, mengurangi tidur, ber’tirtayatra’, perjalanan spiritual dan sebagainya. Itu semua merupakan wujud determination, kesungguhan dari usaha manusia dalam mendapatkan apa yang diinginkan dan dicita-citakan.

Ketika batin seseorang bergerak dengan dibarengi laku, maka akan menimbulkan energi berkekuatan magnet yang dapat menarik energi alam semesta. Semakin berat laku batin seseorang, semakin cepat putaran yang digerakkan dan akan semakin kuat daya magnetisnya dalam menyedot energi alam semesta.

Icha shakti, gyaana shakti dan kriya shakti

Ketiga syarat yang harus dipenuhi agar seseorang sukses mencapai cita-citanya adalah: Pertama Power of the Will, Determination, Icha Shakti, Tekad bulat dalam diri untuk membebaskan diri dari keterikatan dunia. Mengubah kebiasaan lama yang sudah mendarah daging. Guru lah yang menunjukkan jalannya, tetapi murid harus melakoninya. Kedua Power of Knowingness, Gyaana Shakti, mengembangkan keahlian, pengetahuan, bahwa diperlukan daya tahan dan bekerja keras dalam menuntut ilmu. Perlu memahami hukum sebab akibat, hukum evolusi, ‘power of attraction’ hukum magnet perubahan. Ketiga Power of Action, Kriya Shakti, melaksanakan semuanya dengan keceriaan. Melaksanakan setiap saat, dengan ilmu dan kesungguhan dan penuh keceriaan.

Wahyu Cakraningrat adalah wahyu ‘wijining ratu’, wahyu pewaris raja. Alkisah banyak pemuda mencari wahyu cakraningrat agar keturunannya dapat menjadi raja di Nusantara. Disebutkan ada tiga pemuda yang mencari wahyu cakraningrat: Raden Abimanyu, Ksatria Plangkawati putra Raden Arjuna dengan Dewi Wara Subadra; Raden Samba Wisnubratha, Ksatria Parang Garuda, putra Prabu Kresna dengan Dewi Jembawati; Raden Lesmana Mandrakumara, Ksatria Sarojabinangun, putra Prabu Suyudana dengan Dewi Banowati.

Ketiganya bertapa di Alas Krendhawahana, sebuah hutan ‘gung liwang liwung, gawat keliwat-liwat, janma mara janma mati, sato mara sato mati’, daerah angker tempat Bathari Durga bersemayam, makhluk apa pun yang masuk akan mati.

Abimanyu berangkat ke lokasi dikawal oleh panakawan:

Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Samba Wisnubratha dikawal oleh

pamannya, Arya Setyaki dan Patih Udawa. Lesmana Mandrakumara dikawal

oleh sepasukan prajurit Kerajaan Astina, lengkap dengan perbekalan dan

persenjataan.

Pertama kali Abimanyu ditakut-takuti para jin dan demit untuk mengganggu

orang-orang yang bertapa. Ini adalah lambang seseorang yang menempuh laku akan ditakut-takuti kecemasan batin. Abimanyu tetap tenang sampai jin dan demit pergi sendiri. Selanjutnya muncul sepasang raksasa yang mengamuk bernama Maling Raga dan Maling Sukma. Kedua raksasa itu pun berperang tanding melawan Abimanyu. Keduanya tewas terkena panah sakti Abimanyu. Jasad Maling Raga berubah menjadi Bathara Indra, dan jasad Maling Sukma berubah menjadi Bathara Kamajaya. Kedua dewa itu pun memberikan banyak petuah, bagaimana caranya agar Abimanyu berhasil mendapatkan Wahyu Cakraningrat.

Pada suatu tengah malam, terlihat seberkas sinar yang sangat terang

berkeliling di atas Alas Krendhawahana. Sinar itu tak lain adalah Wahyu

Cakraningrat yang tengah mencari ‘wadah’, pemuda yang sanggup menerimanya. Pertama-tama, Wahyu Cakraningrat “masuk” ke dalam diri Lesmana Mandrakumara. Merasa kemasukan wahyu, ia pun menyudahi tapanya. Dia sangat girang dan berpesta pora merayakannya bersama para prajurit Korawa. Mereka mabok kelezatan makanan dan minuman. Tingkat kesadaran Lesmana Mandrakumara masih di cakra bawah, cakra makan minum, sehingga sang wahyu cakraningrat tidak dapat bertahan lama. Hawa nafsu makan dan minum Lesmana Mandrakumara membuat suasana panas dan wahyu pergi ke luar.

Wahyu Cakraningrat mencoba “masuk” ke dalam jasad Samba Wisnubratha. Merasa kemasukan wahyu, dia pun menyudahi tapanya. Bathari Durga tidak berkenan dengan hal tersebut dan mengubah dirinya menjadi bidadari yang cantik jelita. Dia pun menggoda Samba. Samba Wisnubratha terpengaruh dan tergoda. Dia

pun mencumbu dan memperlakukan si wanita itu layaknya istri sendiri. Akibatnya sangat fatal, Wahyu Cakraningrat yang berada dalam tubuhnya seketika keluar dan melesat, mencari pertapa lain. Prabu Kresna adalah seorang avatar bijak, akan tetapi genetik yang menurun ke putranya adalah genetik suka wanita, yang menjadi kelemahan Samba. Pusat kesadaran Samba masih di cakra seks, energinya masih cair dan selalu bergerak ke bawah menuju cakra kedua.

Kemudian Wahyu Cakraningrat “masuk” ke dalam tubuh Abimanyu. Merasa

kemasukan wahyu, ksatria putra Raden Arjuna ini pun merasa sangat bersyukur kepada Gusti. Mengetahui momongannya kemasukan wahyu, Semar pun mewanti-wanti agar Abimanyu semakin berhati-hati. Semar adalah pemandu manusia yang bijak, yang mengikuti perintahnya akan selamat. Ketika bidadari jelmaan Bathari Durga menggodanya, Abimanyu pun selalu menghindar meski si wanita terus-menerus mengejarnya. Melihat momongannya dalam kesulitan, Semar segera membantu. Dia menghajar sang Bidadari habis-habisan. Tiba-tiba, si wanita cantik itu berubah wujud aslinya sebagai Bathari Durga yang bersegera mohon maaf dan menghilang. Guru, dalam hal ini Semar, Sang Pemandu mempunyai pengaruh luar biasa terhadap muridnya. Keyakinan seorang murid terhadap Gurunya akan menyelamatkannya. Pada saat itu kesadaran Abimanyu belum sepenuhnya berupa kesadaran kasih yang berpusat di cakra keempat. Pada saatnya kesadaran Abimanyu akan meningkat karena selalu di’momong’ oleh Semar.

Wahyu Cakraningrat menghuni raden Abimanyu, dan tindakan-tindakannya nampak dipandu oleh sang wahyu. Walau sudah berupaya, ’kasih’ sesungguhnya diperoleh berkat bantuan para suci dan berkah Tuhan. Bila tidak dikehendaki Tuhan, bertemu dengan para suci sungguh sulit. Bila sudah bertemu pastilah terjadi perubahan yang sangat halus dan mendasar. Bertemu dengan para suci sungguh sulit. Yang lebih sulit lagi mempertahankan pertemuan itu.

Lalai karena jatuh cinta dengan Dewi Utari

Raden Abimanyu telah mempunyai istri Dewi Siti Sundari, putri Prabu Kresna. Pada suatu hari, Abimanyu bepergian bersama Gatotkaca, sedangkan Dewi Siti Sundari putri Prabu Kresna yang menjadi istri Abimanyu ditinggalkan bersama Arya Kalabendana, paman Gatotkaca. Karena perginya berhari-hari tidak kembali, Dewi Siti Sundari meminta Arya Kalabendana mencari mereka. Dengan membaui keringat keponakannya Gatotkaca, Arya Kalabendana dapat menemukan Abimayu dan Gatotkaca yang sedang berada di kerajaan Wirata. Abimanyu sedang berkasih mesra Dewi Utari.

Bersentuhan dengan lawan jenis, jika yang muncul adalah birahi, sesungguhnya masih berada pada lapisan kesadaran yang rendah. Apa yang terjadi ketika seorang anak laki menyentuh ibunya? Apa yang terjadi ketika seorang anak perempuan menyentuh ayahnya? Walaupun demikian, seks, napsu birahi, bukanlah sesuatu untuk dihindari. Mereka sesungguhnya sangat alami. Seks, napsu birahi muncul dari kesadaran rendah, kesadaran badaniah. Yang harus kita lakukan bukanlah mengharamkan sentuhan dan duduk bersebelahan, tetapi meningkatkan kesadaran diri. Peningkatan kesadaran diri inilah yang disebut Pembangkitan Kundalini dalam tradisi yoga dan tantra. Inilah lapisan-lapisan langit dalam tradisi sufi. Inilah kasih Ilahi yang diwartakan oleh Yesus (dari Ah karya Bapak Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2000.

Seorang Avatar yang datang ke dunia sedang berupaya menyadarkan bahwa kesucian dan ketidaksucian sesuatu disebabkan oleh perasaan, pandangan, pikiran dan nilai yang diberikan terhadap sesuatu itu. Yang suci bagi sekelompok masyarakat, belum tentu suci bagi kelompok masyarakat lain. Bagi seorang Avatar, semuanya itu adalah produk pikiran. Permainan pikiran dan perasaan dan pandangan dan lain sebagainya. Demikian pula deskripsi-deskripsi tentang Hyang Widhi.

Abimanyu melihat bahwa dewi Utari mempunyai tanda-tanda yang menunjukkan bahwa dirinya akan kuat menerima wahyu cakraningrat. Sehingga takut ditolak, Abimanyu menipu dengan mengatakan dirinya masih perjaka. “Kalau tidak percaya biarlah alam yang menjadi saksi”. Abimanyu masih menggunakan ‘mind’, belum pasrah terhadap Gusti, karena dia juga ingin kerajaan Wirata akan berkoalisi dengan Pandawa melawan Korawa. Gatotkaca marah dan menampar Arya Kalabendana, dan tanpa sadar tangan dengan kesaktian Bajramusti, Vajra Shakti, Tangan Geledek nya langsung mematikan pamannya. Abimanyu tetap bersalah dengan kematian Arya Kala Bendana

Dari Arya Kalabendana, Dewi Utari, paham kalau Abimanyu sudah punya istri, dan sangat kecewa karena Abimanyu telah mengelabui dirinya. Kekecewaan Dewi Utari membuahkan alam bertindak sehingga dalam perang Bharatayuda Abimanyu akan mati mendapatkan luka arang kranjang, banyak luka bersamaan pada tubuhnya.

Apa yang menyebabkan pasang surut kesadaran? Keinginan-keinginan yang ingin terpenuhi, sehingga sebagian kesadaran masih saja mengalir keluar. Selama masih hidup, kesadaran kita akan tetap mengalir keluar. Kesadaran Sri Krishna juga mengalir keluar. Makan minum, berjalan dan lain lain pasti mengalir keluar. Bedanya pengaliran itu disadari sepenuhnya oleh Sri Krishna.

Keyakinan bahwa seorang wanita dapat mempertahankan wahyu dipercayai oleh sebagian masyarakat Nusantara. Dikatakan sebagian orang, sepiawai apa pun pak Harto, wahyunya dipertahankan oleh Ibu Tien Suharto. Ketika ibu Tien meninggal, kekuasaan pak harto juga menyurut. Ken Arok juga mempunyai pemahaman seperti itu. Ia yakin bahwa Akuwu Tunggul Ametung yang sedang berkuasa, tidak memiliki kekuatan apa-apa. Yang memiliki pulung adalah istrinya, Ken Dedes. Akhirnya Ken Arok sampai pada kesimpulan, kalau ingin memiliki kekuasaan tidak ada jalan lain kecuali dengan menikahi Ken Dedes. Maka dengan segala muslihat akhirnya ia menemukan cara untuk membunuh Tunggul Ametung dan menikahi Ken Dedes dan menurunkan raja-raja Jawadwipa.

Kematian Abimanyu

Menyadari Kasih di dalam diri, manusia termabukkan, terpesona. Para pencinta Hyang Widhi termabukkan oleh cinta yang berasal dari dalam diri mereka sendiri. Para kekasih Hyang Widhi termabukkan oleh Pangeran yang berada dalam diri mereka sendiri. Kita masih membutuhkan sarana-sarana di luar diri. Termabukkan oleh hal-hal luaran saja, manusia menjadi pemberani. Apalagi termabukkan oleh sesuatu di dalam diri. Hal-hal luar bersifat temporer, keberaniannya juga temporer. Kasih dalam diri bersifat permanen, seorang pencinta Hyang Widhi menjadi pemberani sejati.

Kasih bukanlah nafsu birahi, kasih menuntut pengorbanan. Kegiatan duniawi maupun rohani tersucikan oleh pengorbanan. Panduan Semar dan nasehat Prabu Kresna, meningkatkan kesadaran Abimanyu. Abimanyu sadar akan darmanya sebagai seorang ksatria yang mungkin terbunuh di medan perang. Dia cukup berbahagia mengetahui bahwa Dewi Utari, istrinya hamil. Intuisinya mengatakan hidup dia tak akan lama lagi. Calon putranya sudah dipasrahkan kepada pakdhe Prabu Kresna. Abimanyu sadar semua ini berada dalam kekuasaan Sri Krishna, dharma harus mengalahkan adharma. Mungkin saja dia dan saudara misannya terdekat, Gatotkaca akan mati. Seandainya itu yang terjadi, dia rela, biarlah dirinya menjadi pupuk bagi pengembangan tanaman dharma. Biarlah anak keturunannya mengenang dirinya sebagai pahlawan yang sanggup berkorban deni dharma, demi kebenaran.

Alkisah, pihak Korawa menantang Pandawa untuk mematahkan formasi perang melingkar yang dikenal sebagai chakrawyuha. Para Pandawa menerima tantangan tersebut karena Kresna dan Arjuna tahu bagaimana cara mematahkan berbagai formasi. Namun, pada hari itu, Kresna dan Arjuna sibuk bertarung dengan laskar Samsaptaka. Oleh karenanya Pandawa memilih Abimanyu yang masih muda, yang memiliki pengetahuan tentang bagaimana cara mematahkan formasi Chakrawyuha. Untuk meyakinkan bahwa Abimanyu tidak akan terperangkap dalam formasi tersebut, Pandawa bersaudara memutuskan bahwa mereka akan mematahkan formasi itu bersama Abimanyu dan membantu sang pemuda keluar dari formasi tersebut. Abimanyu menggunakan kecerdikannya untuk menembus formasi tersebut. Pandawa mencoba untuk mengikutinya di dalam formasi, namun mereka dihadang oleh Jayadrata, Raja Sindhu, yang mampu menahan para Pandawa kecuali Arjuna. Sehingga Abimanyu ditinggal sendirian untuk menangkis serangan pasukan Korawa.

Berita kematian sahabat dan saudara misannya Gatotkaca, membuat Abimanyu merasa waktu kematiannya sudah dekat. Abimanyu membunuh beberapa ksatria yang mendekatinya, termasuk putera Duryudana, yaitu Lesmana. Setelah menyaksikan putera kesayangannya terbunuh, Duryodana marah besar dan menyuruh segenap pasukan Korawa untuk menyerang Abimanyu, mengabaikan hukum perang ksatria untuk berkelahi satu persatu. Atas nasihat Drona, Karna menghancurkan busur Abimanyu dari belakang. Kemudian keretanya dihancurkan, kusir dan kudanya dibunuh, dan seluruh senjatanya terbuang. Tanpa menghiraukan aturan perang, pihak Korawa menyerang Abimanyu secara serentak. Abimanyu mampu bertahan sampai pedangnya patah dan roda kereta yang ia pakai sebagai perisai hancur berkeping-keping. Tak berapa lama kemudian, Abimanyu terbunuh. Abimanyu terbunuh di dalamnya pada hari ketiga belas perang Bharatayuda.

‘Sapa sing nandur bakale ngundhuh’, siapa yang menanam akan menuai, penipuan terhada Dewi Utari dan kematian Arya Kalabendana meminta balasan, Gatotkaca dan Abimanyu terbunuh. Para prajurit menangisi kematian keduanya, akan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa Abimanyu dan Gatotkaca berbahagia karena sudah dapat menyelesaikan hutang piutangnya di dunia dan arwah mereka menuju pangkuan Gusti.

Pembalasan Arjuna, sang Ayahanda

Arjuna paham yang membuat para Pandawa tak dapat membantu Abimanyu yang terperangkap dalam barisan Korawa adalah Raden Jayadrata. Jayadrata mampu menahan Pandawa dalam satu hari peperangan kecuali Arjuna, demikian sabda Bathara Guru. Korawa menjauhkan Jayadrata sebagai ‘stopper’ yang berjasa, dari kejaran Arjuna yang dapat mengalahkannya. Alam membantu Arjuna, terjadilah gerhana matahari, dan kedua belah pihak mengakhiri peperangan karena sudah menganggap malam telah datang. Arjuna mendapat bisikan Prabu Kresna, sebentar lagi matahari muncul. Saat para Korawa lalai, Arjuna mendekati Jayadrata. Ketika gerhana matahari selesai dan matahari memancarkan sinar kembali, Arjuna berhasil membidik Jayadrata dengan panahnya. Seluruh alam berada dalam kendali Sri Krishna. Bagi Pandawa, gerhana matahari adalah pertanda Sang Surya, kekuatan Karna tertutup oleh Sang Soma, kekuatan ayahnya Abimanyu. Karna akan kalah dan Pandawa akan jaya.

Penutup

Cuplikan ini diambil dari Buku Narada Bhakti Sutra, karya Bapak Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Pada hakekatnya, kau tidak dapat membunuh atau membiarkan orang terbunuh. Kau juga tidak dapat mencegahnya. Kematian adalah keniscayaan. Cara seseorang menemui ajalnya ditentukan oleh perbuatannya sendiri. bertindaklah sesuai dengan hukum alam. Berkaryalah sesuai tuntutan tugas dan kewajibanmu sebagai seorang satria. Berkaryalah sesuai dengan peranmu diatas panggung dunia.

Hati yang bermandikan cinta kasih, dan diisi dengan cinta kasih sepenuhnya, hanya hati yang demikian dapat memahami pengabdian. Seorang pengabdi akan berhenti mencari, karena ia telah bertemu dengan Sang Kekasih, Ia senang puas, dalam kebahagiaan yang sempurna. Ia berjalan dalam cinta kasih, Apapun yang dia lakukan adalah perwujudan dari cinta kasih. Hidup dia hanya merupakan ibadah. Semuanya ia terima dengan syukur. Seluruh kehidupannya merupakan pelayanan yang tak berakhir.

Kutemukan Diriku

Mulat sarira, sebuah istilah yang sering dikutip oleh masyarakat Bali; telah dipilih sebagai tema dari Festival Seni Bali tahun ini. Artinya introspeksi diri, mulat sarira bukan sekedar konsep, dogma, atau doktrin agama tertentu, tapi sebuah ajakan bagi seluruh umat manusia, terlepas dari perbedaan latar belakang agama, status sosial, ras, ideologi politik dan ekonomi untuk “kembali ke akarnya dan menemukan dirimu.”

Tak seperti ajakan dari setiap agama, ini bukan sekedar panggilan untuk kembali kepada Tuhan. Ini bukan ajakan untuk menghadap ke Kashi, Ka’bah, atau Yerusalem - tapi untuk “meniti ke dalam diri” dan menemukan “diri”mu.

Sesungguhnya, ini bukan panggilan biasa. Karena ketika Anda berpaling kepada Tuhan, yang kata orang ialah sumber semua cinta dan segala rasa sayang, Anda bisa jadi akan merasakan konsolasi. Tapi saat berpaling ke dalam untuk menemukan “diri”mu sendiri, Anda tak akan menemukan cinta ataupun rasa sayang. Anda justru akan menemukan kebencian dan egoisme.

Ketika Anda berdoa kepada Tuhan yang Maha Mendengar, Anda mengharapkan Ia, apapun atau siapapun Dia, untuk mendengar tangisan Anda dan memberi perhatian pada kemalanganmu. Tapi saat Anda berpaling ke dalam diri, Anda menatap “diri”mu yang sejati dalam keadaan merana itu. Tak ada konsolasi; faktanya ialah Anda menemukan diri yang telanjang bulat. Anda mulai melihat diri sendiri tanpa selubung apapun, tanpa pakaian selembarpun. Anda melihat diri Anda yang masih “mentah”.

Ketika Anda melakukannya, jangan mengambil kesimpulan apapun. Jangan meniti ke dalam diri dengan segempok pengkondisian diri yang terdahulu, seperti “Tuhan berada di dalam dirimu,” atau “Kamu pada hakikatnya ialah Tuhan.” Menitilah ke dalam diri dengan pikiran dan hati terbuka. Menitilah ke dalam diri tanpa pamrih, dan kemudian Anda akan menemukan “diri”mu, “jati diri”mu.

Proses meniti ke dalam diri ini ialah meditasi. Buddha menyebutnya vipasana. Umat Budhis menambahkan seperangkat latihan. Buddha sendiri tak pernah memberikan gambaran, atau lebih tepatnya memberikan resep, berupa latihan tertentu. Ia ialah panggilan yang generik, “Meniti ke dalam diri,” mulat sarira. Tak ada latihan, tak ada inisiasi - cukup membawa “niat tunggal”mu untuk meniti ke dalam diri. Cukup membawa “hasrat membara”mu untuk meniti ke dalam diri. Cukup membawa “kemauan”mu untuk menemukan “diri”mu dalam keadaan telanjang bulat.

Ada orang yang menghubungkan vipasana atau meditasi dengan kesehatan, penyembuhan, keseimbangan emosional dan seterusnya. Itu tak akan menjadi mulat sarira; itu tak akan menjadi vipasana; itu tak akan menjadi Meniti ke Dalam diri. Anda tak meniti ke dalam diri untuk sembuh; Anda tak meniti ke dalam diri dengan ekspektasi. Anda meniti ke dalam diri tanpa ekspektasi. Bagaimana kamu bisa meniti ke dalam diri dengan harapan untuk sembuh, jika pada awalnya Anda bahkan tak tahu apakah kamu sehat atau tidak? Anda tak membutuhkan pengobatan apapun. Anda bisa jadi hanya menghalusinasikan penyakitmu dan dan ketidakseimbangan emosimu.

Jadi sekali lagi, menitilah ke dalam tanpa ekspektasi apapun

Dan berterimakasihlah, bersyukurlah, atas segala yang Anda temukan. Bisa jadi itu cinta, atau justru kebencian. Bisa jadi itu kasih sayang, atau justru egoisme. Bisa jadi itu berupa kerendahan hati atau justru arogansi. Bisa jadi itu ialah kebijaksanaan, kebajikan, atau justru ego dan iri dengki. Apapun yang Anda temukan, itulah “Anda”. Sekali saja Anda menemukan “diri”mu, langkah selanjutnya menjadi mudah.

Menyelamlah dalam penemuanmu itu; jadilah otentik pada dirimu sendiri dan apa yang ingin Anda lakukan terhadapnya. Jujurlah pada dirimu jika Anda merasa puas dengan penemuanmu itu. Jika jawabannya positif - “ya” tanpa keraguan - peliharalah terus hal itu. Tapi bila jawabannya “tidak”, lantas ubahlah ini menjadi apa yang Anda anggap sebagai suatu ideal.

Jadi ada, sebenarnya, dua aspek bagi mulat sarira. Pertama ialah menemukan diri, dan kedua ialah apa yang hendak Anda lakukan terhadapnya.

Sayangnya aspek tersebut acapkali terlupakan. Kita memahami istilah tersebut, tapi kita tak melakoninya. Ini seperti memegang resep medis di rumah dari seorang dokter ahli, tapi kita tak meminum obatnya. Ini menyebabkan kondisi yang memprihatinkan dalam masyarakat kita

Bali, Pulau Dewata, lebih banyak terjadi bunuh diri di sini ketimbang di daerah lain di Indonesia. Bali juga memiliki angka insfeksi HIV tertinggi di banding daerah lain di kepulauan ini. Banyak orang akan menyalahkan faktor luaran untuk kondisi semacam ini. Saya tidak. Saya memilih untuk melakukan mulat sarira, introspeksi diri, vipasana, meniti ke dalam diri untuk menemukan akar dari segala permasalahan kita tersebut. Di mana kita telah jauh melenceng?

Mudah saja memakai mulat sarira sebagai sebuah slogan, tapi sangat sulit untuk mempraktekkannya. Karenanya saat saya mulai mempraktekkannya, saya menyadari bahwa ada banyak kesalahan di dalam diri saya. Angka bunuh diri yang tinggi, infeksi HIV yang marak di kalangan masyarakat Bali, perampokan dan kriminalitas lainnya - semua itu secara langsung terkait dengan diri saya. Menakutkan!

Saya berubah menjadi materialis, dalam pengertian bahwa saya tak lagi melihat energi sebagai sumber dari segala sesuatu. Saya mulai mempercayai kekekalan materi, ketimbang energi. Saya telah melupakan, walau Eistein telah mengingatkan saya bahwa benda dan energi itu relatif, kendati demikian ketika ia menjadi tak berakhir dan tak berbatas, mereka semua ialah kualitas energi

Ketika saya meniti ke dalam diri, pelajaran pertama yang saya pelajari ialah kebutuhan untuk menemukan sumber dari segala sesuatu, untuk melihat hal-hal sebagaimana mereka adanya. Setelah melakukan hal itu, setelah meniti ke dalam diri, saya kembali kepada Nabi dari Arabia dan saya menemukan beliau mengucapkan kata-kata yang sama: “Seseorang yang mengenal dirinya, mengenali Tuhan.” Saya mendengar petuah para bijak dari Yunani kuno bergema, “Kenali dirimu!” Dan, saya mendengar Krishna bernyanyi kepada sahabatnya Arjuna di medan perang Kurusetra, “Diri-Mu ialah teman sekaligus musuh terbaik.”

Mulat sarira ialah ajakan untuk berhenti bersandar pada semua faktor luaran dan mulai untuk bersandar pada diri sendiri. Sahabat, kita semua sedang dalam perjalanan saat ini. Minggu depan, saya akan melanjutkannya. Saya berharap, berdoa, bahwa Anda sudi menemai saya.

WELCOME TO 32 COMUNITY