Interpreasi liar dari imajinasi yang kelewat batas, he he he he
Kesamaan atau kemiripan Nama hanya karena keinginan iseng penulis saja, tanpa maksud untuk memojokkan dan melecehkan siapapun, tanpa tendesi apa-apa *lol* Normal 0 False false ... I
Ada
banyak karakteristik yang bisa menimbulkan benih-benih cinta. Cantik, itu
pasti. Setidaknya seseorang yang bisa membuatmu menitikkan air liur saat
pertama menatapnya adalah calon yang tepat untuk dibawa ke mana saja. Baik
hati, well, menurutku ini tentatif. Bukankah isi hati seseorang
akan lebih tereksplor saat pertemuan sudah berjalan lama? Memiliki bentuk tubuh
yang propoersional yang membuatmu ingin menggelosor di dadanya? Ah, percayalah.
Sangat menyenangkan merebahkan kepala di dada lembut dan menikmati setiap
tarikan nafasnya.
Lalu
aku, apa yang membuatku jatuh cinta? Gayanya dan kelincahanya yang membuatnya
bisa disandingkan dengan beberapa gadis idaman orang banyak. Dia tidak terlalu cantik,
tapi bisa dibilang menarik, meski bukan tipe yang bisa membuat seseorang
langsung jatuh cinta dalam satu kali kedipan mata. Namun setelah melewatkan
beberasa menit bersamanya, percayalah, tidak akan ada yang rela mengalihkan senyumnya
dari sosok itu, sedetikpun. Terlebih dengan dua gigi kelincinya di garis depan susunanya. Menyegarkan
pikiranku.
Namun
senyum dan ketawanyalah yang membuatku bertekuk lutut. Ketika dia tanpa jeda
menjelaskan tentang beberapa aktivitasnya dia bersama Client, kolega dan teman2, atau ketika dia dengan mata menerawang menceritakan pengalamannya
membangun cita2 dan impianya—demi Tuhaaaaaaaan, what the hell.
Seakan semua atensiku tersedot olehnya.
Dan
memang benar. I don’t care about new Glamour Issue, because I want this girl so bad.
CHAPTER I
I Want You For My Breakfast
I Want You For My Breakfast
Terik
matahari pagi 31 Maret 2013 menerobos masuk melalui kaca kecil yang menutupi
salah satu sisi dinding kamarnya. Mataku mengerjap terbuka, berusaha
menyesuaikan diri dengan cahaya pagi.
“Morning, sleepyhead.”
Sebuah suara serak masuk ke
pendengaranku. Aku tersenyum meski enggan untuk bangun. Aku masih setia dengan
posisiku—tengkurap di atas tempat tidur. I don’t care about my naked
back, toh dia sudah tau semuanya semalam.
Anyway, aku masih belum habis pikir bagaimana bisa end up di
sini. Maksudku, aku tidak menyesal. Demi Tuhan, siapa yang menyesal telah
menghabiskan malam bersama wanitaa yang kujamin menempati urutan teratas di
dalam daftar ‘calon istri idaman dan menantu dambaan semua orang tua’ itu?
Hanya saja saat ini aku dilanda ketakutan besar.
Aku takut, setelah pagi ini, aku
semakin jatuh cinta padanya.
“Bagaimana malammu?” Kembali sapaan itu
masuk ke telingaku. Kali ini diiringi dengan sisi kiri tempat tidur yang
bergerak turun, pertanda ada yang duduk di sana.
Kugerakkan mataku menelusuri sosok yang
tengah duduk bersimpuh di sebelahku. Aku menghela nafas berat saat mataku
menelusuri dadanya yang dibiarkan terbuka, teringat bagaimana semalam aku
bermanja-manja di sana. Mataku terus merangkak naik hingga mata kami pun
beradu.
Aku masih menyukai sorot mata itu,
sorot mata penuh optimism dan sedikit kecemasan.
“Apa aku harus menjawab pertanyaan itu?
Itu artinya sama saja dengan memujimu. Nanti kamu bisa besar kepala.”
Dia terkekeh. Tangannya terulur
membelai rambutku. Tangan yang begitu piawai menorehkan sketsa wajah diatas
kulit, dan juga piawai membelai setiap inchi tubuhku.
“Kalau gitu nggak usah di jawab,”
sahutnya dan menghadiahiku sebaris senyuman,
“Kamu suka ga
ama aku.?” dengan gugup aku bertanya balik tentang perasaanya ke aku.
“ada deh, kasi tau gak yaa” jawaban klasik yg sering dia
lontarkan yg sering membuat aku pangling dan kadang bikin besar kepala juga.
“sarapan, Ta.?”
“ga mau” jawabku
“Mau minum,” serunya manja.
Aku hanya tersenyum dan dia menyodorkan segelas air
putih ke hadapanku.
“Aku tidak suka terlalu banyak,” ujarku
refleks.
“Oh. Pagi-pagi harus banyak minum lho.”
Aku tertawa kecil. “Berani taruhan
kalau kamu selalu menjawab dengan jawaban yg ngambang kepada setiap laki2 yg
mau deket ama kamu.”
Raut wajah itu berubah sendu.
Sepertinya kesalahan besar membawa serta laki2 ke dalam percakapan ini.
Bodohnya aku. Sudah jelas aku yang ada di sini, di kamarnya, dalam keadaan topless
berdua dan baru saja menghabiskan waktu semalam suntuk bersamanya,
tetapi malah menyebut-nyebut pria lain pagi ini.
Masih jelas di ingatanku perubahan
ekspresi wajahnya ketika semalam aku menyinggung tentang foto yang ada di meja
rias di kamarnya. Aku baru tiga kali menginjakkan kaki di kamarnya, efek kelanjutan
dari pertemuan yang tidak di rencanakan di sebuah ballroom, yang dengan sengaja kusambangi siang
untuk ngajak dia Lunch di salah satu tempat makan siap saji terkenal dari negri
paman sam. Setelah percakapan demi percakapan yang membuat kami dekat—atau
setidaknya membuatku angkat topi kepadanya, dan ga tau kami pun berakhir di
sini, di kamarnya. Tentu dia tidak membutuhkan effort berlebih
untuk menarikku ke sini. Toh aku sudah bertekuk lutut sejak pertama kali
mengetahui siapa dia. Martina, wirausaha muda yang masih mengikuti study di
salah satu kampus ternama.
Namun ada satu hal yang tidak
kuketahui, tentang siapakah dia.? Sosok foto laki-laki di meja riasnya, itu baru kuketahui ketika mataku menatap
fotonya. Otomatis, sesi ciuman hangat yang tengah kulakoni mendadak berhenti
begitu saja.
“Aku mau pergi”, meski jika aku pulang,
aku tak lebih dari sekedar pecundang.N niat itu urung kulakukan ketika Matina
menarikku ke pinggir jendela yang terhubung dengan pintu kaca di kamarnya. Dari
bibirnya mengalir kata “kamu marah ya”. Dan dia pun bercerita kecil tentang
mereka yang terpaksa hubungan ga jelas karena dia sempet melihat
foto wanita di hp pacarnya dan dia dengan sengaja menghapus foto2 tersebut,
akhirnya mereka bertengkar. Tentang mereka yang tidak tahu lagi harus bagaimana
menyikapi hubungan yang perlahan mulai terasa hambar itu. Tentang lelakinya
yang mulai ingin menyerah dan dia yang masih saja mempertahankan hubungan itu
meski akhirnya dia sadar, dia tidak punya kekuatan apapun untuk
mempertahankannya. Tentang mereka yang akhirnya menyerahkan semuanya kepada
waktu.
Aku tidak tahu harus berkomentar apa.
Aku hanya menggenggam tangannya, seakan berkata bahwa aku mendukungnya. Aku
tidak tahu berapa lama kami terkurung dalam keheningan karena satu-satunya yang
kutahu, ketika kami tidak sengaja bertatap mata, gejolak kelaki-lakianku
menyuruhku untuk menyambut ciumannya. Ketika bibir kami saling berpagut dan Martina
yang meraupku ke dalam pelukannya, aku pun membiarkan otakku bergerak liar.
Satu hal lagi yang kutahu, aku
terbangun pagi ini dengan perasaan puas. Disampingnya.
“Aku sedang tidak ingin membicarakan Armateja
“lelakinya” desahnya pelan. Dari hela nafasnya yang terdengar berat, aku bisa
mengerti betapa berat beban yang dikandungnya, “kamu benar. Armateja laki-laki,
dan aku sebagai laki-laki juga tidak mengerti atau mungkin mencoba mengingkari
kebutuhan mendasar perempuan “kasih sayang dan perhatian”. Semalaman aku
berpikir, aku hanya memberikan ketidakjelasan masa depan kepadanya.”
Ucapan itu sontak membuatku terduduk.
“Sungguh, aku tidak bermaksud membuat hubungan kalian menjadi suram.”
Martina tersenyum tipis. “Tanpa kamu
pun hubungan ini sudah suram.”
“Iya, tapi, aku… maaf, harusnya aku
tidak mengatakan apa-apa semalam.” Aku tergagap.
Demi Tuhan aku tidak bermaksud
mengacaukan hubungan mereka. Mungkin aku dilanda sedikit cemburu, tapi aku
tidak ingin merusak hubungan itu. Bagaimanapun juga, aku baru mengenal Martina
baru tiga hari, sedang Armateja sudah mengenalnya dua atau tiga tahun lalu. Aku
hanya berusaha menyampaikan realita. Kenyataan bahwa hubungan yang mereka
jalani selamanya akan jalan di tempat, tanpa ada masa depan yang jelas, jika
tidak ada yang mengalah dan memutuskan untuk pindah. Martina sudah sukses
dengan kehidupan cinta dan karirnya, begitupun dengan Armateja mungkin sudah
bersama perempuan lain. Sebuah halangan berat ketika mereka memutuskan untuk
ingin mengikat hubungan itu.
“Sudahlah. Kamu hanya menyampaikan
kenyataan. Kenyataan yang selama ini kuingkari.”
Refleks aku memeluk sosok itu. Tubuhnya
berguncang ketika mencoba melepaskan beban yang menghimpit dadanya melalui
helaan nafas. Lama dia terdiam dalam pelukanku dan aku pun tidak bermaksud
untuk melepaskannya. Aku menikmatinya, menikmati saat-saat dalam diam seperti
ini. It’s weird but I love it.
Sampai akhirnya Martina melepaskan
dirinya dan menatapku lekat-lekat. “Yakin nggak mau sarapan?”
Aku menggeleng.
“katakana kepadaku apa yg bisa aku
berikan untuk sarapan” tanyanya, diiringi
dengan sebuah kedipan dan senyum tipis tersungging di bibirnya.
Kucondongkan tubuhku hingga nafasnya
yang beraroma mint terasa jelas di wajahku. Lalu, bisikku “I want you
for my breakfast.”
Martina meraupku ke dalam pelukannya.
Sebelum dia membuaiku lebih lanjut, aku masih teringat untuk menjulurkan jari
tengahku ke arah foto Armateja.
Salah dia tidak ada di sini and
I don’t care about him.
BERSAMBUNG…..................................................................................!
“I want you for my breakfast “Inspirasi oleh : Ifnur Hikmah PS "Thank You", disadur dan direvisi oleh : Suaradiksa (doakan biar penulis bisa menyelesaikan chapter2 selanjutnya)