Rabu, 29 Mei 2013

UNEXPECTED JOURNEY (Chapter I)


Interpreasi liar dari imajinasi yang kelewat batas, he he he he
Kesamaan atau kemiripan Nama hanya karena keinginan iseng penulis saja, tanpa maksud untuk memojokkan dan melecehkan siapapun, tanpa tendesi apa-apa *lol* Normal 0 False false ... I

Ada banyak karakteristik yang bisa menimbulkan benih-benih cinta. Cantik, itu pasti. Setidaknya seseorang yang bisa membuatmu menitikkan air liur saat pertama menatapnya adalah calon yang tepat untuk dibawa ke mana saja. Baik hati, well, menurutku ini tentatif. Bukankah isi hati seseorang akan lebih tereksplor saat pertemuan sudah berjalan lama? Memiliki bentuk tubuh yang propoersional yang membuatmu ingin menggelosor di dadanya? Ah, percayalah. Sangat menyenangkan merebahkan kepala di dada lembut dan menikmati setiap tarikan nafasnya.
Lalu aku, apa yang membuatku jatuh cinta? Gayanya dan kelincahanya yang membuatnya bisa disandingkan dengan beberapa gadis idaman orang banyak. Dia tidak terlalu cantik, tapi bisa dibilang menarik, meski bukan tipe yang bisa membuat seseorang langsung jatuh cinta dalam satu kali kedipan mata. Namun setelah melewatkan beberasa menit bersamanya, percayalah, tidak akan ada yang rela mengalihkan senyumnya dari sosok itu, sedetikpun. Terlebih dengan dua gigi kelincinya  di garis depan susunanya. Menyegarkan pikiranku.
Namun senyum dan ketawanyalah yang membuatku bertekuk lutut. Ketika dia tanpa jeda menjelaskan tentang beberapa aktivitasnya dia bersama Client, kolega dan teman2, atau ketika dia dengan mata menerawang menceritakan pengalamannya membangun cita2 dan impianya—demi Tuhaaaaaaaan, what the hell. Seakan semua atensiku tersedot olehnya.
Dan memang benar. I don’t care about new Glamour Issue, because I want this girl so bad.


CHAPTER I

I Want You For My Breakfast

 Terik matahari pagi 31 Maret 2013 menerobos masuk melalui kaca kecil yang menutupi salah satu sisi dinding kamarnya. Mataku mengerjap terbuka, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya pagi.
“Morning, sleepyhead.”
Sebuah suara serak masuk ke pendengaranku. Aku tersenyum meski enggan untuk bangun. Aku masih setia dengan posisiku—tengkurap di atas tempat tidur. I don’t care about my naked back, toh dia sudah tau semuanya semalam.
Anyway, aku masih belum habis pikir bagaimana bisa end up di sini. Maksudku, aku tidak menyesal. Demi Tuhan, siapa yang menyesal telah menghabiskan malam bersama wanitaa yang kujamin menempati urutan teratas di dalam daftar ‘calon istri idaman dan menantu dambaan semua orang tua’ itu? Hanya saja saat ini aku dilanda ketakutan besar.
Aku takut, setelah pagi ini, aku semakin jatuh cinta padanya.
“Bagaimana malammu?” Kembali sapaan itu masuk ke telingaku. Kali ini diiringi dengan sisi kiri tempat tidur yang bergerak turun, pertanda ada yang duduk di sana.
Kugerakkan mataku menelusuri sosok yang tengah duduk bersimpuh di sebelahku. Aku menghela nafas berat saat mataku menelusuri dadanya yang dibiarkan terbuka, teringat bagaimana semalam aku bermanja-manja di sana. Mataku terus merangkak naik hingga mata kami pun beradu.
Aku masih menyukai sorot mata itu, sorot mata penuh optimism dan sedikit kecemasan.
“Apa aku harus menjawab pertanyaan itu? Itu artinya sama saja dengan memujimu. Nanti kamu bisa besar kepala.”
Dia terkekeh. Tangannya terulur membelai rambutku. Tangan yang begitu piawai menorehkan sketsa wajah diatas kulit, dan juga piawai membelai setiap inchi tubuhku.
“Kalau gitu nggak usah di jawab,” sahutnya dan menghadiahiku sebaris senyuman,
            “Kamu suka ga ama aku.?” dengan gugup aku bertanya balik tentang perasaanya ke aku.
“ada deh, kasi tau gak yaa” jawaban klasik yg sering dia lontarkan yg sering membuat aku pangling dan kadang bikin besar kepala juga.
“sarapan, Ta.?”
“ga mau” jawabku
“Mau minum,” serunya manja.
Aku  hanya tersenyum dan dia menyodorkan segelas air putih ke hadapanku.
“Aku tidak suka terlalu banyak,” ujarku refleks.
“Oh. Pagi-pagi harus banyak minum lho.”
Aku tertawa kecil. “Berani taruhan kalau kamu selalu menjawab dengan jawaban yg ngambang kepada setiap laki2 yg mau deket ama kamu.”
Raut wajah itu berubah sendu. Sepertinya kesalahan besar membawa serta laki2 ke dalam percakapan ini. Bodohnya aku. Sudah jelas aku yang ada di sini, di kamarnya, dalam keadaan topless berdua  dan baru saja menghabiskan waktu semalam suntuk bersamanya, tetapi malah menyebut-nyebut pria lain pagi ini.
Masih jelas di ingatanku perubahan ekspresi wajahnya ketika semalam aku menyinggung tentang foto yang ada di meja rias di kamarnya. Aku baru tiga kali menginjakkan kaki di kamarnya, efek kelanjutan dari pertemuan yang tidak di rencanakan di sebuah ballroom, yang dengan sengaja kusambangi siang untuk ngajak dia Lunch di salah satu tempat makan siap saji terkenal dari negri paman sam. Setelah percakapan demi percakapan yang membuat kami dekat—atau setidaknya membuatku angkat topi kepadanya, dan ga tau kami pun berakhir di sini, di kamarnya. Tentu dia tidak membutuhkan effort berlebih untuk menarikku ke sini. Toh aku sudah bertekuk lutut sejak pertama kali mengetahui siapa dia. Martina, wirausaha muda yang masih mengikuti study di salah satu kampus ternama.
Namun ada satu hal yang tidak kuketahui, tentang siapakah dia.? Sosok foto laki-laki di meja riasnya,  itu baru kuketahui ketika mataku menatap fotonya. Otomatis, sesi ciuman hangat yang tengah kulakoni mendadak berhenti begitu saja.
“Aku mau pergi”, meski jika aku pulang, aku tak lebih dari sekedar pecundang.N niat itu urung kulakukan ketika Matina menarikku ke pinggir jendela yang terhubung dengan pintu kaca di kamarnya. Dari bibirnya mengalir kata “kamu marah ya”. Dan dia pun bercerita kecil tentang mereka yang terpaksa hubungan ga jelas karena dia sempet melihat foto wanita di hp pacarnya dan dia dengan sengaja menghapus foto2 tersebut, akhirnya mereka bertengkar. Tentang mereka yang tidak tahu lagi harus bagaimana menyikapi hubungan yang perlahan mulai terasa hambar itu. Tentang lelakinya yang mulai ingin menyerah dan dia yang masih saja mempertahankan hubungan itu meski akhirnya dia sadar, dia tidak punya kekuatan apapun untuk mempertahankannya. Tentang mereka yang akhirnya menyerahkan semuanya kepada waktu.
Aku tidak tahu harus berkomentar apa. Aku hanya menggenggam tangannya, seakan berkata bahwa aku mendukungnya. Aku tidak tahu berapa lama kami terkurung dalam keheningan karena satu-satunya yang kutahu, ketika kami tidak sengaja bertatap mata, gejolak kelaki-lakianku menyuruhku untuk menyambut ciumannya. Ketika bibir kami saling berpagut dan Martina yang meraupku ke dalam pelukannya, aku pun membiarkan otakku bergerak liar.
Satu hal lagi yang kutahu, aku terbangun pagi ini dengan perasaan puas. Disampingnya.
“Aku sedang tidak ingin membicarakan Armateja “lelakinya” desahnya pelan. Dari hela nafasnya yang terdengar berat, aku bisa mengerti betapa berat beban yang dikandungnya, “kamu benar. Armateja laki-laki, dan aku sebagai laki-laki juga tidak mengerti atau mungkin mencoba mengingkari kebutuhan mendasar perempuan “kasih sayang dan perhatian”. Semalaman aku berpikir, aku hanya memberikan ketidakjelasan masa depan kepadanya.”
Ucapan itu sontak membuatku terduduk. “Sungguh, aku tidak bermaksud membuat hubungan kalian menjadi suram.”
Martina tersenyum tipis. “Tanpa kamu pun hubungan ini sudah suram.”
“Iya, tapi, aku… maaf, harusnya aku tidak mengatakan apa-apa semalam.” Aku tergagap.
Demi Tuhan aku tidak bermaksud mengacaukan hubungan mereka. Mungkin aku dilanda sedikit cemburu, tapi aku tidak ingin merusak hubungan itu. Bagaimanapun juga, aku baru mengenal Martina baru tiga hari, sedang Armateja sudah mengenalnya dua atau tiga tahun lalu. Aku hanya berusaha menyampaikan realita. Kenyataan bahwa hubungan yang mereka jalani selamanya akan jalan di tempat, tanpa ada masa depan yang jelas, jika tidak ada yang mengalah dan memutuskan untuk pindah. Martina sudah sukses dengan kehidupan cinta dan karirnya, begitupun dengan Armateja mungkin sudah bersama perempuan lain. Sebuah halangan berat ketika mereka memutuskan untuk ingin mengikat hubungan itu.
“Sudahlah. Kamu hanya menyampaikan kenyataan. Kenyataan yang selama ini kuingkari.”
Refleks aku memeluk sosok itu. Tubuhnya berguncang ketika mencoba melepaskan beban yang menghimpit dadanya melalui helaan nafas. Lama dia terdiam dalam pelukanku dan aku pun tidak bermaksud untuk melepaskannya. Aku menikmatinya, menikmati saat-saat dalam diam seperti ini. It’s weird but I love it.
Sampai akhirnya Martina melepaskan dirinya dan menatapku lekat-lekat. “Yakin nggak mau sarapan?”
Aku menggeleng.
“katakana kepadaku apa yg bisa aku berikan untuk sarapan”  tanyanya, diiringi dengan sebuah kedipan dan senyum tipis tersungging di bibirnya.
Kucondongkan tubuhku hingga nafasnya yang beraroma mint terasa jelas di wajahku. Lalu, bisikku “I want you for my breakfast.”
Martina meraupku ke dalam pelukannya. Sebelum dia membuaiku lebih lanjut, aku masih teringat untuk menjulurkan jari tengahku ke arah foto Armateja.
Salah dia tidak ada di sini and I don’t care about him

BERSAMBUNG…..................................................................................!     


“I want you for my breakfast “Inspirasi oleh : Ifnur Hikmah PS "Thank You", disadur dan direvisi oleh : Suaradiksa (doakan biar penulis bisa menyelesaikan chapter2 selanjutnya)

Sekuntum Edelweis



Bagaikan Sekuntum edelweis di puncak tertingi..
Merana dibatu gersang tanpa air tanpa telaga..
Pada puncak keabadian kutambatkan Sepi dan Rindu..
Pada tetes embun kubercanda dan tertawa..
Pada perdu-perdu kring kumengeluh..
Pada batu-batu gunung kubertanya..
Kemanakah dia hai si pengusik hati..
Berharap aku selalu abadi di hatimu..
WELCOME TO 32 COMUNITY